Resensi Garis dan Waktu




Disusun Oleh :
Destiana Nur Rahayu


Judul buku : Garis Waktu
Penulis : Fiersa Besari
Penyunting : Agus Wahadyo
Penata Letak : Didit Sasono
Desainer Cover : Budi Setiawan
Penerbit : mediakita
Cetakan I : 2016
Bahasa : Indonesia
ISBN : 978-979-794-525-1
Tebal : 212 halaman



Prolog :
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya. Kemudian, satu orang tersebut akan menjadi bagian terbesar dalam agendamu. Dan hatimu tak akan memberikan pilihan apapun kecuali jatuh cinta, biarpun logika terus berkata bahwa risiko dari jatuh cinta adalah terjerembab di dasar nestapa.


Dimensi Tentangmu
Semestaku sebelum kau datang adalah konstelasi yang sistematis, mengandung stagnasi yang konservatif. Aku tidak tahu caranya menghargai mentari yang membakar langit hingga kemerahan. Aku tidak tahu caranya mencium wangi hujan yang membasahi bumi. Aku tidak paham dibalik indahnya kalimat yang termaktub dalam larik-larik puisi.
Dan kemudian kau datang. Kau menjadi seseorang yang memorak-porandakan jagat raya ku. Dengan cara yang termanis, kau memintaku untuk merasakan dan mensyukuri segala hal yang cepat atau lambat akan berakhir.
Hidup adalah serangkaian kebetulan.
'Kebetulan' adalah takdir yang menyamar.



Perjumpaan yang Sederhana
Adalah matamu yang pertama kali berbicara, menembus pertahanan ku secara membabi buta. Kau diamkan tanganmu di dalam jabatanku selama beberapa detik. Aku idamkan tanganmu di dalam genggamanmu untuk selamanya. Segala keteraturan yang kubangun selama ini, runtuh dalam sekejap. Padahal, perjumpaan kita begitu sederhana, tidak sedramatis kisah-kisah yang didongengkan para pujangga. Meski begitu bagiku kau istimewa, melebihi apa yang mampu digambarkan susastra. Bahkan, aku yakin kau bukan manusia biasa. Mungkin kau adalah malaikat yang sedang menyamar, diturunkan bersama lusinan bom atom yang meledakan dimensiku. Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan perkenalan kita dimulai.

Sesuatu yang Tumbuh Diam-Diam
Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram, hijau di antara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba, ia akan mengendap-endap menyusup kedalam urat nadimu, meledakan  jantungmu, lagu meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya.
Kali ini, aku tidak bisa mengelak. Yakin bahwa hatiku sudah ada di genggamanmu, menjadi hak pilih untuk kau rawat, atau mungkin kau hancurkan. Namun, tak perlu lagi aku berpikir terlalu jauh. Sekarang yang terpenting adalah mengatur siasat agar posisi kita berimbang. Aku pun harus bisa menggenggam hatimu. Karena entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit, bagiku kau bintang yang aku puja setengah mati.

Untukmu yang Berjubah Api
Untukmu yang berjubah api, hangatmu mencairkan hati yang membeku, hati yang sempat kudinginkan karena luka di masa lalu. Meratapi puing diantara runtuhan kisah lama, tanpa mengikuti ritme dunia, adalah ilusi yang menenangkan. Jadi tak usah mengharapanku menitipkan sesuatu yang belum tentu bisa kau jaga. Meski mungkin, pengharapan  dirimu hanyalah pengharapan dariku semata.
Jika ingin menetap, jangan menetap sebagai 'tanda tanya', tapi sebagai 'titik' pengembaraan. Kau jernih diantara buram, nyata diantara nanar. Biar kurengkuh dirimu beberapa milimeter kedekat jantungku, agar detaknya seirama dengan jantungmu. Karena aku ingin hatiku dan hatimu berkonspirasi, berkonsorsium, berkongsi, berkompilasi, berkomplot, hingga pada akhirnya berkolaborasi. Karena aku yang egois ini hanya ingin kau menjadi milikku seorang.





Dan Kemudian
Pagi datang lagi, membangunkan ku dengan kicauan burung dan mentarinya. Hari yang berbeda, massa yang berbeda, waktu yang berbeda. Masih dengan perasaan yang sama, yang menunggu pesan darimu masuk kedalam ponselku.
Kemudian, pagi kembali berganti malam. Repetisi yang tidak lagi membosankan semenjak kau hadir. Mata coklatmu yang indah, dicampur senyummu yang berseri, tak pernah gagal membuat jagat rayaku meledak menjadi jutaan kembang api. Sementara kata-katamu yang seadanya dan terkesan dingin adalah residu dari kembang api yang menghanguskan bumiku menjadi jelaga.

Tak Pernah Meminta Mereka Untuk Mengerti
Ketika orang lain memakai sepatu keluaran terbaru dan kau tetap memakai kets butut, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Ketika orang lain betah mengobrol di dunia maya dan kau tidak betah berlama-lama di depan telepon genggam, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Ketika orang lain melakukan sesuatu untuk disukai dan kau melakukan sesuatu karena kau suka, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. ketika orang lain memilih untuk terikat dengan rutinitas dan kau memilih untuk terikat dengan kebebasan, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Tak perlu menyeragamkan diri dengan kebanyakan orang. Tak perlu kekinian (karena yang kekinian akan alay pada waktunya). Tak perlu repot-repot menyamakan diri dengan orang lain, kau diciptakan untuk menjadi unik. Sudah terlalu banyak orang yang sama seperti Kebanyakan orang.

Ketika Kukira Aku Istimewa
Kukira hanya untukku dirimu. Ternyata kau terbagi ke segala penjuru, sporadis memberi angin surga pada kawanan pemangsa.
Masih kurangkah telinga Ini mendengar keluh kesahmu? Belum cukupkah waktu ku untuk membalas segala aduanmu? Jika aku yang kau rasa menenangkanmu, lantas mengapa ia yang memenangkanmu? Siapa gerangan dirinya? Dari mana datangnya? Mengapa aku tidak melihatnya datang? Tampaknya terlalu rapi kau sembunyikan musuhku di dalam selimutmu. Jadi selama ini saat aku berharap, mungkin saja kau dan dirinya sedang bermalam mingguan. Saat aku terbuai, mungkin saja kalian sedang bergandeng tangan. Saat aku hendak membantu masalah masalahmu, sudah ada dirinya yang menjadi ksatria untukmu. Luar biasa.

Kalau Saja Aku Mampu
Kalau saja aku mampu, sudah ku kejar langkahmu agar kita berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah ku hiasi hari-harimu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah ku temani dirimu saat dirundung kesedihan. Kalau saja aku mampu, sudah ku pastikan bahwa aku pantas untuk kau sandingkan. Kalau saja aku mampu, sudah ku balikan waktu agar saat itu tidak mengenalmu. Kalau saja aku mampu, sudah ku arungi hariku tanpa harus memikirkanmu. Kalau saja aku mampu, sudah ku tarik jiwaku yang ingin berada di sebelahmu. Kalau saja aku mampu, sudah ku minta hatiku agar berhenti merasakanmu.
Tapi aku mampu untuk memandangimu dari kejauhan tanpa pernah berhenti mendoakan. Aku juga mampu menjadi rumah untukmu, menunggumu yang tak tahu arah pulang. Sungguh aku mampu merindukanmu tanpa tahu waktu, tanpa sedikitpun alasan. Untukmu, aku mampu.

Penantian
Aku rindu sosokmu yang memberitahuku bahwa cinta terpendam adalah bahasa keheningan dengan hati yang saling menggenggam. Jadi, apakah salah jika selalu saja namamu yang terukir, meski rasa ini tanpa nama, tanpa sebab, tanpa mula, tanpa akhir?
Lambat laun kusadari, beberapa rindu memang harus sembunyi sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. bukan untuk diutarakan, hanya untuk disyukuri keberadaannya.
Biarlah 'apa kabar' menjadi pengganti 'aku rindu', 'jaga dirimu baik-baik' menjadi pengganti 'aku sayang kamu', tangganya menjadi pengganti tanganku untuk menuntunmu, pundaknya menjadi pengganti pundakku untukmu bersandar. Biarlah gemercik gerimis, carik senja, secangkir teh, dan bait lagu menjadi penggantimu.

Zona Pertemanan
Kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu; perasaanku. Andai saja aku mampu memberitahu mu. Tapi aku terlalu takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasi ku selama ini. Bukankah kita adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan? Tubuh kita berumur harapan palsu. Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar, sementara tanganmu mencegahku kemana-mana.
Izinkan aku keluar dari zona pertemanan kita untuk sejenak. Akan kutunjukkan padamu sebuah gerbang menuju dunia paralel. Di dunia paralel aku tidak perlu lagi repot-repot menyatakan apapun. Kau akan setuju untuk bersanding denganku tanpa perlu ada rentetan peristiwa yang membuat kita semakin pelik. Aku akan menjadi bumi untuk mentarimu, lirik untuk lagu, hujan untuk bungamu.

Dipukul Mundur
Ketidaktegasan adalah sesuatu yang ada di antara kau dan aku. Kurang ajarkah jika hatiku berharap lebih setiap kali kau menyandarkan kepala lelahmu di bahuku? Kau memang mahir menuai harapan dihatiku. Menaruh harapan padamu seakan menggenggam duri duri di batang mawar, membuatku berdarah. Tapi aku tak kunjung pergi. Bak orang dungu, aku bisikan lagi kata-kata rindu, menitipkannya di ketiak malam, sebelum rindu itu terlampir pagi hari di depan pintu kamarmu. Kau tersipu membalas rinduku dengan senyuman. Aku tidak pernah tahu di mana sebenar-benarnya perasaanmu bermukim.
Menyayangimu adalah soal keikhlasan. Bukan keikhlasan untuk terus-terusan diberi harapan semu, melainkan keiklasan untuk menyadari bahwa memang seharusnya kau berhak bahagia. Urusan apakah aku yang membuatmu bahagia atau bukan, itu tak jadi soal.

Ketika Duniamu Hancur Berkeping-keping
Kau menangis deras. Katamu, ia pergi meninggalkanmu kedinginan di ujung bumi. Bahkan di saat seperti ini kau masih berusaha tegar. Kita sama. Entah terlalu pintar menyembunyikan perasaan atau terlalu bodoh untuk menyatakan. Wajar untuk terluka, untuk membutuhkan tempat bersandar, untuk tidak baik-baik saja. Bahkan orang terkuat di muka bumi pun pernah berkabung. Sembuh itu butuh waktu bukan paksaan. Saat semua tidak berjalan semestinya, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa.
Kalau kau sedang rapuh, simpan sejenak hatimu. Biarkan 'proses' dalam 'waktu' menyembuhkan 'perasaan' memang tidak bisa di buru-buru, tapi juga jangan berlama-lama meratapi seseorang yang tidak bisa menghargaimu. Dekatkan dirimu pada orang-orang yang membuatmu bahagia. Merekalah yang harus kau jaga. Yang lainnya hanya menumpang lewat. Jadi, sebelum menoleh lagi ke belakang pastikan kau lihat seseorang yang menantimu di depan. Mengenang masa lalu bukan berarti harus mengulang. Kalau dia tidak bisa menghargai kesempatan baik yang kau beri, beri dirimu sendiri kesempatan untuk mendapatkan kisah yang lebih baik. Karena yang benar-benar peduli akan menghentikan air matamu jatuh, bukan membuat air matamu jatuh.

Pelarian
Aku selalu menganggap, rela menunggu seseorang itu tidak berarti bodoh, itu hanya berarti teguh pendirian. Karena sekuat apapun kita menyangkal sesuatu yang dikatakan oleh hati, sekuat itu pula hati kita akan berusaha mendesak.
Mungkin karena itulah aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, meski dengan biadabnya kau bertingkah seolah aku adalah buku harian yang cuma pengisi dengan keluh kesahmu, tanpa perlu kau tanyakan bagaimana perasaanku.
Kemudian, kau mencari penghilang rasa sakit untuk meredakan hari-harimu yang suram. Aku pun dengan sukarela menjadi pemeran pengganti untuk meredakan malam-malammu yang muram. Aku yang mendengarkanmu hingga jam 01.00 pagi, adalah aku yang kau nafikan lagi dan lagi. Kau yang masih tenggelam dalam kenangan adalah yang ingin ku selamatkan. Celakanya aku malah ikut terbenam dalam skenario yang kau ciptakan. Dan kita menjadi terbiasa untuk pura-pura tertawa. Padahal kau dan aku tahu, aku mendambakanmu yang mendambakannya.



Makhluk Pecicilan Bernama Hati
Aku ingin memperkenalkanmu kepada satu makhluk pecicilan yang tidak bisa diam bernama 'Hati'. Kebetulan dia milikku, dan kebetulan juga dia mengejarmu. Hatiku memang gila. Sekuat apapun aku melarangnya untuk berlari ke arahmu, dia akan tetap berlari hanya untuk memelukmu.
Berbeda dengan hatiku yang pecicilan, pikiranku ini pendiam sekali. Dia jarang rukun dengan hatiku, malah sering berkelahi. Alasan perkelahian mereka kali ini tentu saja karena hatiku ingin berlari ke arahmu dan pikiranku kurang setuju. Pikiran ku percaya bahwa dengan hatiku berlari ke arahmu, dia akan berujung hancur. Pikiranku yang sayang pada hatiku tidak ingin sahabatnya itu hancur.

Menjadikanmu Poros Semata
Dan di sinilah aku, memutuskan untuk berterus terang mengenai segala hal yang terpendam selama ini. Apapun reaksimu, aku sudah siap. Aku lelah sembunyi-sembunyi memikirkanmu. Mungkin kau pun sudah lelah pura-pura tidak tahu kalau aku memang memikirkanmu.
Aku tidak mahir mengejar, tapi aku tahu cara menunggumu. Aku tidak mahir berkata-kata, tapi aku tahu cara mendoakanmu. Aku tidak mahir memberi saran, tapi aku tahu cara mendengarkanmu. Aku tidak mahir melawak, tapi aku tahu cara membuatmu bahagia. Aku tidak mahir memimpin, tapi aku tahu cara menuntunmu. Aku tidak mahir untuk rela mati, tapi aku tahu cara hidup denganmu. Aku tidak tahu dimana ujung perjalanan ini, aku tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi selama aku mampu, mimpi-mimpi kita adalah prioritas.

Saat Hati Kita Melebur
Jatuh cinta memang tak pernah direncanakan, tapi membina sebuah komitmen butuh perencanaan. Mabuk kepayang itu mudah. Kau hanya perlu mereguk sukacita sebanyak-banyaknya. Yang sulit itu menghadapi risiko terjaga dari mabuk tanpa ada siapa pun di sebelahmu. Jatuh cinta itu mudah. Kau hanya perlu terpanah asmara, lalu jatuh. Yang sulit itu menghadapi risiko berdiri sendirian dengan hati yang terluka. Kasmaran itu mudah. kau hanya perlu senyum-senyum sendiri setiap akan berangkat tidur. Yang sulit itu menghadapi risiko terbangun dengan hati yang patah tanpa ada yang mampu merekatkannya kembali.
Susah dan senang, jatuh dan bangun, gembira dan terluka, aku bersamamu. Aku bersamamu untuk menuntun, bukan menuntut. Menggandeng, bukan menarik paksa. Mempercayai, bukan mencurigai. Membahagiakan, bukan membahayakan.

Dimensi Setelah Kedatanganmu
Pada tenangmu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu ombakmu mendentumku keras, namun aku tetap menambatkan jangkar. Pada jinggamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu gelapmu dapat membutakanku, namun aku tetap menambatkan jangkar. Padamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu kau tidak baik-baik saja, namun aku tetap menambatkan jangkar. Aku menambatkan jangkar bukan hanya untuk melihatmu sempurna. Aku menambatkan jangkar untuk melihatmu apa adanya.
Terima kasih karena telah menuntunku untuk tersenyum ketika beranjak tidur. Jika kata 'sayang' terlalu berlebihan untuk memaparkan apa yang kurasakan, biarkan aku menjadi seseorang yang menjagamu ketika kau rapuh, dan menarik mu turun ketika kau terlalu angkuh. Akan tetapi jika kata 'sayang' tidak berlebihan, maka izinkanlah aku mengucap 'aku menyayangimu'.

Perbedaan
Perbedaan itu indah. Sebuah hubungan yang dilandasi oleh perbedaan akan sangat menyenangkan. Berbagai perspektif baru, ilmu baru, wawasan baru. Tapi sebuah hubungan harus mempunyai misi dan visi yang sama.
Kita memang berasal dari planet yang berbeda. Kita memang berasal dari latar belakang yang berbeda. Kita memang berasal dari kebiasaan yang berbeda. Namun detik dimana kelingking kita saling terkait, mata kita saling menatap, dan jantung kita seirama, aku tahu masa depan kita sama. Tanpa mempedulikan planet kita yang berbeda, mimpi kita sama. Selama kau dan aku bisa memperjuangkan apa yang kita berdua rasakan, sesulit apapun itu aku yakin akan ada jalannya.

Serangkaian Kode
Masalah tidak perlu diumbar. Mereka belum tentu simpatik. Seharusnya pasangan bisa saling menutupi keburukan satu sama lain, bukan sebaliknya. Aku dan kamu tak usah terlalu di gembar gembor. Yang hening-hening syahdu itu yang biasanya langgeng.  Bukan yang di pamer pamer. Pada waktunya dunia hanya perlu tahu kalau kita hebat. Kebahagiaan tidak membutuhkan penilaian orang lain.
Hidup ini sebetulnya mudah. Jika rindu, datangi. Jika tidak senang, ungkapkan. Jika cemburu, tekankan. Jika suka, nyatakan. Jika sayang, tunjukkan. Manusianya yang seringkali mempersulit segala sesuatu. Ego mencegah seseorang mengucap 'aku membutuhkanmu'.

Sesuatu yang Tertinggal
Bicara mengenai komitmen, aku pernah takut dengan komitmen. Aku takut dengan kata 'menikah', takut dengan ikatan monogami seiya sekata, sehidup semati. Tapi ketika rasa takut mendera, kupejamkan mata. Kubayangkan kita tinggal di rumah kayu sisi pantai, dengan aroma laut memenuhi udara. Hidup kita sederhana, tanpa perlu disibukkan urusan dunia maya, tanpa harus terbawa arus modernisasi. Di penghujung hari, kita terduduk bersama di dermaga dengan senyum di wajah kita.


Akar
Orang tua berdiri di barikade paling depan, menjaga anak-anak mereka agar tidak merasakan penderitaan yang pernah mereka rasakan. Tentu dengan cara mereka masing-masing. Dan meski tidak ada keluarga yang sempurna di dunia ini, kekurangan kekurangan dalam keluargalah yang pada akhirnya membuat kita rindu untuk pulang, untuk kembali melengkapi, untuk kembali dilengkapi.
Ibu merupakan tempat cinta kasih bermuara. Beliau adalah seorang yang seringkali lupa mendoakan dirinya sendiri hanya karena terlalu sibuk mendoakan anaknya. Karena beliau lah, aku mampu hadir di muka bumi. Karena kasih sayangnya, aku mampu mengerti apa arti perjuangan dan pengorbanan.
Jika kau dan aku berniat ke arah yang lebih serius, tak pernah rasanya membiarkanmu datang hanya untuk melihat-lihat hidupku, tanpa betul-betul mengenal orang-orang hebat yang pertama kali mengajarkan ku agar aku bisa menjadi diriku hari ini. Menerimaku, berarti juga menerima keluargaku. Karena keluargaku, kelak akan menjadi keluargamu.

Masa Depan Diciptakan Hari Ini
Kelak kita akan membangun impian, sederhana tapi ingar-bingar, kecil tanpa hiruk pikuk. Ada secercah harapan tertuang, serumpun rindu tertanam, serintik cinta tersiram.
Temani langkahku dalam perjalanan menuju kedewasaan. Tegapkan aku bila aku jatuh. Rundukan aku saat terlampau angkuh. Karena tatkala jiwaku rapuh, kaulah yang mampu membuatku kembali utuh. Jadikan aku bagian hidupmu. Lipatan aku dalam sepak terjangmu. Percayalah kau selalu ada di degup jantungku.
Walau mesti aku tertatih, walau mesti aku merangkak, walau mesti menukar nyawa, akan kulakukan agar kau selamat. Lalui senang dan susah, tak akan aku menyerah. Ceriamu juga ceriaku. Laramu juga laraku. Sehatmu juga sehatku. Sakitmu juga sakitku.

Apakah Hidupku Sudah Cukup Berarti?
Manusia seringkali digerakkan oleh dua hal, rasa takut dan rasa cinta. Rasa takut cenderung membuat kita membuat pilihan-pilihan konservatif, membuat kita enggan keluar dari zona nyaman, membela ego kita sendiri, dan menganggap keputusan kita sudah betul. Padahal, kita hanya terlalu takut untuk mengambil keputusan yang benar-benar kita inginkan hanya karena kita senang membayangkan yang tidak-tidak. Sementara, rasa cinta membuat kita berani menyatakan, berani mengikuti kata hati, berani keluar untuk melihat dunia.
Jadi luangkan waktumu sejenak. Nikmati kebahagiaan kecil di dalam harimu. Tertawalah, bersyukurlah. Entah jalur apa pun yang kita ambil, ujung dari sebuah kehidupan adalah kembali ke tanah.

Komentar

Postingan Populer