Austronesia Prasejarah di Indonesia


Sumber : Buku Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta
Judul      :  Austronesia dan Melanesia di Nusantara



                             AUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA
           Truman Simanjuntak
Pengertian Austronesia
Austronesia (australis=south; nesos=island), pertama kali diperkenalkan oleh W. Schmidt (1899) untuk menyebut rumpun bahasa yang dituturkan oleh penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara dan Pasifik. Menurut para ahli, di Asia Daratan pernah berkembang bahasa Austrik, kemudian bahasa ini terpecah menjadi dua, pertama bahasa Austroastik di Indocina dan Munda di India Selatan dan bahasa Austronesia di Indonesia dan Pasifik. Nenek moyang penutur bahasa Austronesia berasal dari Vietnam atau Annam.
Austronesia tidak hanya bahasa, tetapi mencakup kebudayaan secara kesuluruhan. Kawasan sebarannya pun cukup luas,dari ujung Madagaskar sampai kepulauan Paskah di Pasifik, serta antara Taiwan-Mikronesia sampai Selandia Baru. Dari dimensi bentuk, rumpun bahasa ini meliputi 1,000 sampai 1,200 bahasa, tergantung dalam membedakan bahasa dan dialek (Tanudirjo dan Simanjuntak,2004; Bellwoof et al., 1995).
Dari sudut karakter fisik, penutur bahasa ini termasuk ras Mongoloid (Bellwoof et al., 1995). Namun dalam perkembangannya menampakkan tampilan fisik yang beragam tergantung etnisitas tertentu terutama di Asia Tenggara dan Pasifik. Dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti variasi interaksi biologis dengan pihak luar yang menyebabkan percampuran gena dan juga keanekaragaman lingkungan dan letak geografis kediaman. Kemampuan untuk mengadaptasikan diri pada lingkungan dan kebutuhan yang berbeda dari penutur bahasa ini telah pula mnyebabkan keragaman subsistensi dalam mempertahankan hidup. Seperti berburu di Kalimantan dan meramu di Kepulauan Riau, atau bertani subsistensi yang paling umum.
Karakter unik lainnya menyangkut persebarannya yang relatif cepat. Persebaran berlangsung  5000-1000 tahun yang lalu dalam kawasan yang sangat luas. Keberadaan koridor pelayaran (voyaging corridor) antara Indonesia-Filipina dan Melanesia (Irwin,1992) yang terlindung oleh pulau-pulau dari angin badai termasuk faktor kemudahan dalam persebaran ke arah Timur Jauh.
Studi Austronesia di Indonesia
                Dari sudut geografi, Indonesia menduduki posisi yang strategis karena luas dan posisi berada di tengah bagian kawasan diaspora Austronesia. Keberadaan kantong-kantong penutur non-Austronesian di Maluku, Sunda Kecil dan Papua sangat penting untuk mengetahui proses interaksi dengan kelompok Austronesia. Walaupun penelitian telah berlangsung sejak lebih dari dua abad, ternyata masih saja terdapat perdebatan yang tidak berkesudahan.
                Pendekatan yang paling tepat dan mutlak dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang komeperehensif adalah kajian lintas ilmu. Studi Austronesia  di Indonesia baru menggeliat sekitar tahun 2000-an. Diantaranya Sangkot Marzuki, kepala Lembaga Eijkman dengan kelompok penelitinya, yang tertarik mengembangkan analisis Mt DNA dalam melacak pertalian genealogi dan asal usul manusia Indonesia.
Berpatokan pada model Peristiwa Besar (Big Events), studi Austronesia dibagi 3 berdasarkan periodisasi perkembangan budayanya, yaitu:
1. Austronesia Prasejarah, dimulai sejak kehadiran penutur Austronesia awal di kepulauan hingga sekitar 2000 BP.
2. Austronesia Protosejarah, berkembang sekitar 2000 BP abad IV/V Masehi, ditandai dengan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks.
3. Austronesia Masa Kini, cakupan waktu terhitung sejak kemerdekaan hingga sekarang, dicirikan oleh lepasnya masyarakat dari dominasi budaya asing.




  INTERAKSI AUSTRONESIA - MELANESIA
 KAJIAN INTERPRETASI TEORITIS
Daud Aris Tanudirjo : Proses interaksi antar etnis di Papua yang sebenarnya cukup rumit barangkali dapat tergambarkan secara sederhana dalam buku Guns, Germs, and Steel (1998) karya Jared Diamond, seorangfisikawan Amerika yang banyak menulis buku sejarah manusia. Pada awal Bab 17 yang berjudul "Speedboat to Polynesia'",Diamond menceritakan peristiwa di suatu toko di Jayapurayang melibatkan setidaknya empat etnis yang berbeda (tidaktermasuk Diamond sendiri), yaitu Ahmad dari Jawa, Wiwor dari pedalaman Papua, Soakari dari pesisir Papua, dan Ping Hwa si pemilik toko yang keturunan Cina. Diamond menceritakanpertemuan antar etnis itu seringkali menimbulkan kelucuan-kelucuan sebagai akibat perbedaan latarbelakang budaya. Namun, di balik diungkapkan pula adanya "ketegangan" budaya yang juga dirasakan meskipun terpendam. Bagi Diamond sendiri, interaksi empat etnis tadi setidaknya menyiratkan pertemuan antar "generasi migrasi yang berbeda.
 Wiwor dari pedalaman mewakli migrasi generasi pertama yang mulai menghuni Papuasejak sekitar 40.000 tahun lalu, sedangkan Soakari dari pesisir Papua merupakan hasil migrasi kedua yang telah dipengaruhi oleh para penutur Austronesia awal, yang berciri rasial Mongoloid Ahmad dilihat sebagai sosok yang mewakili generasi migrasi Mongoloid yang sempat singgah di kawasan lndonesia Barat daya tetapi kemudian bermigrasi lagi ke arah timur pada masa- masa yang jauh lebih kemudian (setelah Papua masuk menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Budaya Bendawi
Ada beberapa jenis artefak yang dianggap dapat menunjukkan interaksi budaya penutur Austronesia dan masyarakat Melanesia sekitar 3500 tahun yang lalu. Spriggs (1997) mencoba mendaftar jenis-jenis artefak yang muncul di Melanesia setelah kontak antara kedua kelompok ini, diantaranya gerabah, beliung persegi, pahat batu poles, batu penumbuk biji, artefak kerang Conus, kail kerang, rumah berdenah persegi, dan perkampungan terbuka. Selain itu, ada unsur budaya lain yang diduga diperkenalkan para  penutur Austronesia ke masyarakat Melanesia, diantaranya tradisi kunyah pinang dan pelihara ternak babi, ayam, serta anjing. Diantara sejumlah budaya bendawi itu, salah satu jenis artefak yang menonjol adalah gerabah (lihat juga Bellwood, 2005).Hingga kini, penelitian di sejumlah tempat di Melanesia membuktikan bahwa gerabah belum dikenal sebelum interaksi dengan para penutur Austronesia. Meskipun ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa gerabah ditemukan di beberapa situs dengan pertanggalan lebih dari 5.000 tahun lalu di pantai utara Papua Nugini (a.l. Gorecki et al., 1991; Swadling and Hope, 1992).
Bahasa
Kawasan Melanesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki bahasa paling beragam di dunia. Begitu besar keragaman bahasa yang dituturkan, sehingga pengelompokannya kadang menjadi begitu rumit (Dutton, 1995; Wurm, 1983). Karena itu,di sini informasi tentang bahasa yang disampaikan lebih bersifat garis-garis besar saja dan difokuskan pada hal-hal yang dapat memberikan gambaran interaksi budaya penutur Austronesiorang Melanesia. Secara umum, bahasa-bahasa yang dituturkan di kawasan Melanesia dapat dibedakan menjadi dua kelom besar berdasarkan asal-usul yang berbeda, yaitu bahasa Papua Non-Austronesia (NAn) dan bahasa Austronesia (An). Menn Wurm (1983), setidaknya ada tiga atau empat gelombang mig bahasa Papua yang terjadi di Melanesia sejak sekitar 40.000 tahun yang lalu.
Karena itu, bahasa Papua atau bukan Austrone (Nan) mempunyai substratum-substratum yang agak kurang jelas dan sulit dikelompokkan dengan pasti. Namun yang penting dari gelombang migrasi bahasa NAn adalah tersebar kelompok bahasa yang kini dominan di Pulau Papua dan beberpulau kecil di luarnya (seperti Timor, Pantar, dan di Kepulauan Bismarck), yaitu Trans New Guinea Phylum (TNGP).
Genetika
Pada kesempatan ini hanya akan dikemukakan beberapa gambaran umum tentang sebaran ciri penanda genetika di Melanesia yang setidaknya dapat memberikan petunjuk pola hubungan interaksi antara penutur Austronesia dan masyarakat Melanesia.
 Pada awalnya, penelitian genetika di Melanesia menunjukkan adanya indikasi yang cukup jelas perbedaan antara masyarakat Papua di daratan tinggi wilayah pedalaman dengan mereka yang tinggal di kepulauan atau datarañ rendah di daerah pesisir. Ciri genetika masyarakat Papua di dataran tinggi lebih dekat dengan ciri genetika Orang Aborijin Australia, sedangkan mereka yang tinggal di kepulauan menunjukkan adanya masukan ciri genetika dari Asia, antara lain ditunjukkan oleh Alpha Globin, Human Leukocyte Antigen (HLA), dan Mt DNA Haplogroup B Asia yang bercirikan hilangnya "pasangan basa 9" (9 base-pair deletion).
Proses dan implikasi migrasi Austronesia
Masuk ke pedalaman Uraian tentang bukti-bukti yang sejauh ini tersedia tentang interaksi antara penutur Austronesia dengan masyarakat melanesia, baik itu berupa artefak atau budaya bendawi, bahasa dan penanda genetika sebagaimana dipaparkan di atas setidaknya dapat memberikan gambaran yang kurang lebih seragam. Parapendatang atau migran dari Asia Tenggara kepulauan ternyata lebih banyak menghuni dan menanamkan pengaruhnya secara kuat di pulau-pulau Melanesia dan pesisir utara daratan Papua.Sejauh ini, ada beberapa tafsiran yang dicoba dipakai untuk memberi penjelasan pada fenomena ini.




     JEJAK BUDAYAAUSTRONESIA, MELANESIA,
    DAN TRADISI PRASEJARAH BERLANJUT DI PAPUA
                                                                           M. Irfan Mahmud
Jejak budaya Austronesia, Melanesia, dan tradisi prasejarahberlanjut sangat luas persebarannya di Papua. Hampir semua wilayah menyimpan potensi sumber daya arkeologi yang sangat baik dieksplorasi jika kita ingin mengetahui asal-usul manusia beserta aspek-aspek kebudayaan Papua yang sangat beragam. Sayang sekali, dibandingkan 1luas wilayah dan rentang waktu hunian dari zaman prasejarah, data arkeologi Papua berkenaan dengan persebaran dan interaksi budaya masih sangat sedikit yang terungkap. Padahal, dengan posisinya yang strategis, tidak dapat diragukan lagi, Papua memiliki sebaran situs dalam jumlah besar.
Budaya Lapita dan Kapak Lonjong dalam Konteks Melanesia
Secara geografis, kebudayaan Lapita terbentang dari Kepulauan Bismarck di barat, melalui pulau-pulau utama Melanesia (Solomon, Vanuatu, New Caledonia) ke Fiji, lalu mencapai Kepulauan Polinesia Tonga dan Samoa, menempuh jarak sekitar 4.000 dari penggalian arkeologis pada situs-situs kawasan Melanesia dapat diperkirakan puncak pertumbuhan kebudayaan Lapi sekitar 1.500 sampai 500 tahun sebelum masehi.
pengaruh Austronesia di Pesisir dan Pulau-Pulau
fenomena persebaran masyarakat penutur Austronesia yanggmenjangkau Lautan Pasifik merupakan fenomena yang sangatBanyak paka menganggap, salah satunya Hendrik Kern, bahwa diaspora Austronesia terjadi karena tekanan penduduk dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu pantai daerah tropis (Blust, 1984-1985: 47-49; Anceaux, 1991: 74-75).

Sisa Tradisi Prasejarah di Papua
Sisa-sisa tradisi prasejarah terutama ditemukan di kawasan Pegunungan Tengah yang terus hidup ketika sebagian besar bagian dunia lain sudah memasuki peradaban modern. Sisa tradisi prasejarah dipelihara oleh banyak kelompok suku pedalaman, seperti suku Dani, Ngalum, Ekagi, Mee, Marind-Anim, Asmat, Muyu, Komoro, dan Hattam.
Silang Budaya dan Jati Diri
Tidak dapat disanksikan lagi bahwa Papua merupakan bagian kawasan Melanesia yang dala dinamika pertumbuhannyaur budaya dengan karakternya masing-menampung beragammasing, termasuk budaya Austronesia yang menjadi akar pokok kebudayaan bangsa lndonesia. Hubungan-hubungan yang terjadi telah menciptakan multikulturalisme yang tetap mereka kenali secara baik. Terutama di pesisir utara dan Kepala Burung, kita menemukan bukti arkeologi silang budaya Melanesia, Austronesia, serta budaya lokal yang berkembang cukup harmoni.




                                                  BUDAYA PANTAI DAN PEDALAMAN
                                                      MASA PRASEJARAH DI PAPUA
                                                                        Bagyo Prasetyo

Tanah Papua merupakan pulau besar yang terletak di ujung timur dari bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Plau dengan luas sekitar 420.000 kilometer persegi ini secara administratif berbatas an dengan Papua Nugini di sebelah timur. Seperti halnya dengan pulau-pulau lain di wilayah Indonesia, Tanah Papua sebagai pulau yang besar (selain Sumatra dan Kalimantan) juga mempunyai kandungan data arkeologi yang Sangat beragam dari masa prasejarah sampai pengaruh Islam dan Kolonial.

Perwajahan Situs Arkeologi Papua
Bukti-bukti arkeologi di Tanah Papua telah diungkap oleh sejumlah peneliti mancanegara, seperti J. Röder, Cator, Aufenanger, Riesenfeld, Wichman, W.G. Solheim II, Tichelman,dan Gruyter. Disamping itu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (sekarang bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan ArkeologiNasional) juga telah merintis kegiatan penelitian di wilayah  tersebut, yang diawali berupa kerjasama dengan Belanda (W.G Solheim II). Beberapa peneliti dari jajaran instansi tersebut antaralain adalah R.P. Soejono, D.D. Bintari, Hendari Sofion, Gunadi Nitihaminoto, Truman Simanjuntak, dan Bagyo Prasetyo.
Hadirnya Balai Arkeologi Jayapura sekitar 10 tahun yang lalu sebagai perpanjangan tangan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional semakin menjadi tumpuan bagi perkembangan arkeologi di Tanah Papua.


a. Wilayah Kepulauan, Pesisir dan Sekitarnya
Jejak-jejak komunitas prasejarah di Tanah Papua ditandai oleh adanya seni lukis cadas yang ditemukan di sepanjang pesisir pantai. Tichelman dan Gruyter menginformasikan bahwa di tebing-tebing Teluk Speelman yang terletak di sebelah selatan wilayah Fak-Fak, ditemukan sejumlah lukisan dinding serta tengkorak manusia, patung kayu, perisai dan sejumlah artefak lainnya (1944: 11).
b. Wilayah Pedalaman
 Sama halnya dengan wilayah pantai, wilayah pedalaman nampaknya juga sarat dengan tinggalan arkeologi yang cukup menarik. Sulitnya jarak tempuh dan jarak jangkau ke lokasi situs menjadi kendala yang sangat besar dalam melakukan penelitian di wilayah ini. Namun demikian, sejumlah informasi dan catatan dari peneliti asing memberikan gambaran tentang kearkeologian yang ada di wilayah pedalaman, terutama dataran tinggi Pegunungan Tengah.

Konteks Prasejarah Papua di Nusantara
Berdasarkan sejumlah penelitian terhadap situs-situs gua yang diwakili oleh wilayah Makbon (Gua Selesimlagi, Gua Masiolo, Gua Kalabus), wilayah Jayapura (Gua Skoumabo), Ayamaru menunjukkan bahwa unsur neolitik yang lebih berperan dibandingkan dengan unsur pra-neolitik, seperti yang banyak ditemukan di situs-situs gua di daerah Indonesia Timur.




                                                        BUDAYA AUSTRONESIA DI PAPUA
     Hari Suroto
Banyak orang Papua saat ini menganggap dirinya sebagaiketurunan Melanesia, karena merujuk pada arti kata "melanesia" yang bermakna penghuni pulau berkulit hitam. Kata "Melanesia" secara harafiah berarti pulau hitam. Istilah ini pertama kali digunakan pada 1827 oleh nahkoda kapal Astrolabe asal Perancis bernama Dumont d'Urville.
Kata ini sebenarnya untuk menunjukkawasan geografis semata. Walaupun begitu, para ahli yang telah menyelidiki bahasa dan prasejarah Papua serta kawasan Melanesia lainnya sepakat untuk membedakannya: bahasa-bahasa Papua sebagai Non-Austronesia dan bahasa-bahasa Melanesia termasukdalam filum Austronesia.
Austronesia Papua dan Perdagangan Jarak Jauh
Perbedaan Orang Papua dan Melanesia secara genetis dan linguistik masih bisa ditelusuri sampai hari ini. Di sebagian wilayahbarat New Guinea, turunan Melanesia bisa dijumpai di pulau-pulau di wilayah Biak, Yapen, Raja Ampat, serta di sepanjang pesisir utara.

Namun, mereka tak bisa ditemukan di wilayah Dataran Tinggi dan sepanjang pesisir selatan (Muller, 2008:59). J. C. Anceaux (1953:293)berpendapat lain bahwa di bagian baratlaut Papua,-yaitu Pulau Biak, sebagian dari Pulau Yapen, Teluk Saireri, Teluk Berau hingga Teluk Etna-terdapat sejumlah bahasa yang tergolong bahasa Melanesia.

Pengaruh Austronesia di Papua
Pengaruh budaya Austronesia di Papua hanya terdapat di pesisir utara, Teluk Cenderawasih dan wilayah Kepala Burung Pengaruh ini berupa bahasa Melanesia yang merupakan hasil perkembangan bahasa-bahasa Papua setelah mendapat pengaruh dari Bahasa Austronesia. Ciri budaya Austronesia lainnya yang terlihat berkaitan tradisi rajah (tato) dan sistem organisasi kemasyarakatannya yang terstruktur dengan sistem hirarki dimanapara pemimpinnya dijabat secara turun-temurun.

                                           BUDAYA AUSTRONESIA  DI  KEPULAUAN MALUKU
                                                                           Wuri Handoko
Penelitian Peter Bellwoodd (1993) di wilayah Maluku Utaracetidaknva mempertanyakan empat isu utama arkeologi. Pertama, pertanggalan awal plestocen, sebelum 10.000 tahun yang lalu.Kedua, peran wilayah Maluku Utara dalam hubungannya dengan budaya akhir Austronesia-Pasifik. Ketiga, sifat alami hubungan antara kedua populasi etnolingustik kelompok utama daerah Austronesia dan Non-Austronesia (Papua) sejak 4000 tahun lalu.
Keempat, sejarah perdagangan rempah-rempah dengan wilayah China, India dan Barat (Eropa) (Bellwood, 1993). Penelitian Bellwood tersebut sebagian besar diarahkan pada tiga topik pertama yang telah disebutkan, meskipun beberapa informasi Secara mengejutkan juga menjelaskan tentang topik perdagangan rempah-rempah (Spriggs, 1998).

Budaya Awal dan Perkembangan Masa Pra neolitik
Indikasi kebudayaan awal di wilayah Maluku dapat digambarkan beberapa temuan arkeologi yang menunjukkan kronologi sangat tua. Di wilayah Sawai, Pulau Seram bagian utara, ditemukaalat batu paleolitik yang kemudian dihubungkan dengan migrasi manusia purba di Nusantara (Sapri Hadiwisastra, 1999/2000:85-90). Peninggalan masa paleolitik lainnya ditemukan di Situs Morella dan Wayputih. Kedua situs tersebut menandai hadirnya budaya paleolitik di wilayah Seram. Penemuan budaya paleolitik di Maluku memberi indikasi awal untuk dapat memperkirakan bahwa sejak zaman prasejarah telah hidup manusia sebangsa Homo Erectus, meskipun bukti-bukti fosilnva belum didapatkan hingga sekarang (Handoko, 2007). Pulau Seram kemungkinan merupakan wilayah awal okupasi manusia purba. Meski demikian, mengingat masibh minimnya temuan paleolitik, sehingga masinbelum bisa dijadikan bahan untuk kajian lebih dalam lagi perihal perkembangan dan persebaran budaya paleolitik di Maluku.

Budaya Austronesia Kepulauan Maluku
Hasil penelitian arkeologi di wilayah Maluku sejauh ini telah menyimpulkan bahwa budava neolitik Maluku merupakan hasilpersentuhan masyarakat penutur bahasa Austronesia. Periode budaya neolitik di wilayah Maluku berdasarkan artefak yang dihasilkan menmuat informasi pertanggalan 4500-3500 BP. Dalam kurun waktu ini, budaya dan teknologi baru berkembang yang mungkin bersamaan dengan hadirnya Orang Austronesia di Maluku dari Taiwan yang terus menyebar sampai ke wilayah Melanesia dan Polinesia. Kehadiran penutur Austronesiamembawa tradisi gerabah (tembikar) serta domestikasi hewan, seperti anjing, babi dan ayam serta menyebarkan rumpun bahasa Austronesia (Bellwood, 1997: 201-57; Bellwood, et.al., 1995, dalam Spriggs 1998).

Austronesia di Maluku: Antara Budaya Melaut dan Agrikultur
Jika budaya neolitik diasosiasikan dengan bercocok tanam dalam skema pola hidup menetap, maka dapat dikategorikan sebagai budaya manusia saat mengokupasi wilayah daratan atau dalam pengertian lain sebagai budaya agraris awal. Hasil riset pada beberapa situs yang mengindikasikan peninggalan arkeologi masa neolitik menunjukkan bahwa jati-diri masyarakat didominasi budaya agrikultur. Hasil riset lainnya menggambarkan kesamaan sistem ekonomi penduduk awal dan perubahan ekonomi antara Kepulauan Maluku dengan Kepulauan Bismarck dan Salomon, yakni perkembangan ekonomi agrikultur.
 Penjelasan menyangkut pola ini dapat diperoleh berdasarkan penelitian Bellwood (1993) dan Flanery dkk (1995) di Maluku Utara. Pada sebuah penggalianarkeologi di Gua Siti Nafisah (Halmahera Selatan), ditemukan bukti-bukti adanya budaya agrikultur dengan ditemukannya tulang binatang sejenis hewan berkantung seperti kuskus yang berasosiasi dengan gerabah yang memiliki pertanggalan 5210 dan 3410 BP (Spriggs, 1998). Demikian pula di Halmahera dan Pulau Gebe, yang memiliki corak budaya mirip yang berkembangdi wilayah Solomon dan Bismarck serta daerah timur PapuaNugini, terdapat jenis binatang yang ditengarai hadir bersamaan atau dibawa oleh orang-orang pendukung budaya gerabah awal (Spriggs, 1998).

Migrasi dan Home-Land
Teori-teori migrasi yang selama ini dianut menunjukkan bahwa nenek moyang orang Indonesia berasal dari ras Austromelanosoid. Ras ini menyebar dari timur ke barat. Pendapat ini salah satunya mengungkapkan bahwa budaya lukisan cadas berasal dari benua Australia yang merupakan cikal bakal ras Austromelanosoid (Asikin, 2000: 102).

              


http://uny.ac.id
http://library.uny.ac.id
https://journal.uny.ac.id

Komentar

Postingan Populer