Austronesia Prasejarah di Indonesia
Sumber : Buku Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta
Judul : Austronesia dan Melanesia di Nusantara
AUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA
Judul : Austronesia dan Melanesia di Nusantara
AUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA
Truman
Simanjuntak
Pengertian
Austronesia
Austronesia
(australis=south; nesos=island), pertama kali diperkenalkan oleh W. Schmidt
(1899) untuk menyebut rumpun bahasa yang dituturkan oleh penduduk yang mendiami
kepulauan Nusantara dan Pasifik. Menurut para ahli, di Asia Daratan pernah
berkembang bahasa Austrik, kemudian bahasa ini terpecah menjadi dua, pertama
bahasa Austroastik di Indocina dan Munda di India Selatan dan bahasa
Austronesia di Indonesia dan Pasifik. Nenek moyang penutur bahasa Austronesia
berasal dari Vietnam atau Annam.
Austronesia tidak
hanya bahasa, tetapi mencakup kebudayaan secara kesuluruhan. Kawasan sebarannya
pun cukup luas,dari ujung Madagaskar sampai kepulauan Paskah di Pasifik, serta
antara Taiwan-Mikronesia sampai Selandia Baru. Dari dimensi bentuk, rumpun
bahasa ini meliputi 1,000 sampai 1,200 bahasa, tergantung dalam membedakan
bahasa dan dialek (Tanudirjo dan Simanjuntak,2004; Bellwoof et al., 1995).
Dari sudut karakter
fisik, penutur bahasa ini termasuk ras Mongoloid (Bellwoof et al., 1995). Namun
dalam perkembangannya menampakkan tampilan fisik yang beragam tergantung
etnisitas tertentu terutama di Asia Tenggara dan Pasifik. Dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti variasi interaksi biologis dengan pihak luar yang
menyebabkan percampuran gena dan juga keanekaragaman lingkungan dan letak
geografis kediaman. Kemampuan untuk mengadaptasikan diri pada lingkungan dan
kebutuhan yang berbeda dari penutur bahasa ini telah pula mnyebabkan keragaman
subsistensi dalam mempertahankan hidup. Seperti berburu di Kalimantan dan
meramu di Kepulauan Riau, atau bertani subsistensi yang paling umum.
Karakter unik
lainnya menyangkut persebarannya yang relatif cepat. Persebaran
berlangsung 5000-1000 tahun yang lalu
dalam kawasan yang sangat luas. Keberadaan koridor pelayaran (voyaging corridor)
antara Indonesia-Filipina dan Melanesia (Irwin,1992) yang terlindung oleh
pulau-pulau dari angin badai termasuk faktor kemudahan dalam persebaran ke arah
Timur Jauh.
Studi
Austronesia di Indonesia
Dari
sudut geografi, Indonesia menduduki posisi yang strategis karena luas dan
posisi berada di tengah bagian kawasan diaspora Austronesia. Keberadaan
kantong-kantong penutur non-Austronesian di Maluku, Sunda Kecil dan Papua
sangat penting untuk mengetahui proses interaksi dengan kelompok Austronesia.
Walaupun penelitian telah berlangsung sejak lebih dari dua abad, ternyata masih
saja terdapat perdebatan yang tidak berkesudahan.
Pendekatan
yang paling tepat dan mutlak dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang
komeperehensif adalah kajian lintas ilmu. Studi Austronesia di Indonesia baru menggeliat sekitar tahun
2000-an. Diantaranya Sangkot Marzuki, kepala Lembaga Eijkman dengan kelompok
penelitinya, yang tertarik mengembangkan analisis Mt DNA dalam melacak
pertalian genealogi dan asal usul manusia Indonesia.
Berpatokan pada model Peristiwa Besar (Big
Events), studi Austronesia dibagi 3 berdasarkan periodisasi perkembangan
budayanya, yaitu:
1. Austronesia Prasejarah, dimulai sejak
kehadiran penutur Austronesia awal di kepulauan hingga sekitar 2000 BP.
2. Austronesia Protosejarah, berkembang
sekitar 2000 BP abad IV/V Masehi, ditandai dengan kehidupan masyarakat yang
semakin kompleks.
3. Austronesia Masa Kini, cakupan waktu
terhitung sejak kemerdekaan hingga sekarang, dicirikan oleh lepasnya masyarakat
dari dominasi budaya asing.
INTERAKSI
AUSTRONESIA - MELANESIA
KAJIAN
INTERPRETASI TEORITIS
Daud Aris Tanudirjo : Proses
interaksi antar etnis di Papua yang sebenarnya cukup rumit barangkali dapat
tergambarkan secara sederhana dalam buku Guns, Germs, and Steel (1998) karya
Jared Diamond, seorangfisikawan Amerika yang banyak menulis buku sejarah
manusia. Pada awal
Bab 17 yang berjudul "Speedboat to Polynesia'",Diamond menceritakan
peristiwa di suatu toko di Jayapurayang melibatkan setidaknya empat etnis yang
berbeda (tidaktermasuk Diamond sendiri), yaitu Ahmad dari Jawa, Wiwor dari pedalaman Papua, Soakari dari pesisir Papua, dan
Ping Hwa si
pemilik toko yang keturunan Cina. Diamond menceritakanpertemuan antar etnis itu
seringkali menimbulkan kelucuan-kelucuan sebagai akibat perbedaan latarbelakang
budaya. Namun, di balik
diungkapkan pula adanya "ketegangan" budaya yang juga dirasakan meskipun terpendam. Bagi Diamond
sendiri, interaksi
empat etnis tadi setidaknya menyiratkan pertemuan antar "generasi migrasi yang berbeda.
Wiwor dari pedalaman mewakli migrasi generasi pertama yang mulai
menghuni Papuasejak sekitar 40.000 tahun lalu, sedangkan Soakari dari pesisir Papua merupakan hasil migrasi kedua yang telah
dipengaruhi oleh para
penutur Austronesia awal, yang berciri rasial Mongoloid Ahmad dilihat sebagai sosok yang mewakili generasi
migrasi Mongoloid
yang sempat singgah di kawasan lndonesia Barat
daya tetapi kemudian bermigrasi
lagi ke arah timur pada masa- masa yang jauh lebih kemudian (setelah Papua masuk menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Budaya Bendawi
Ada beberapa jenis artefak yang dianggap dapat menunjukkan interaksi
budaya penutur Austronesia dan masyarakat Melanesia sekitar 3500 tahun yang lalu. Spriggs (1997)
mencoba mendaftar jenis-jenis artefak yang muncul di Melanesia setelah kontak antara kedua kelompok ini, diantaranya gerabah,
beliung persegi, pahat batu poles, batu penumbuk biji, artefak kerang Conus,
kail kerang,
rumah berdenah persegi, dan perkampungan terbuka. Selain itu, ada unsur budaya
lain yang diduga diperkenalkan para penutur Austronesia ke masyarakat Melanesia, diantaranya tradisi kunyah
pinang dan pelihara ternak babi, ayam, serta anjing. Diantara sejumlah budaya
bendawi itu, salah satu jenis artefak yang menonjol adalah gerabah (lihat juga
Bellwood, 2005).Hingga kini, penelitian di sejumlah tempat di Melanesia
membuktikan bahwa gerabah belum dikenal sebelum interaksi dengan para penutur
Austronesia. Meskipun ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa gerabah
ditemukan di beberapa situs dengan pertanggalan lebih dari 5.000 tahun lalu di
pantai utara Papua Nugini (a.l. Gorecki et al., 1991; Swadling and Hope, 1992).
Bahasa
Kawasan Melanesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki bahasa
paling beragam di dunia. Begitu besar keragaman bahasa yang dituturkan,
sehingga pengelompokannya kadang menjadi begitu rumit (Dutton, 1995; Wurm,
1983). Karena itu,di sini informasi tentang bahasa yang disampaikan lebih
bersifat garis-garis besar saja dan difokuskan pada hal-hal yang dapat
memberikan gambaran interaksi budaya penutur Austronesiorang Melanesia. Secara
umum, bahasa-bahasa yang dituturkan di kawasan Melanesia dapat dibedakan
menjadi dua kelom besar
berdasarkan asal-usul yang berbeda, yaitu bahasa Papua Non-Austronesia (NAn) dan bahasa Austronesia (An).
Menn Wurm
(1983), setidaknya ada tiga atau empat gelombang mig bahasa Papua yang terjadi di Melanesia sejak
sekitar 40.000 tahun yang lalu.
Karena itu, bahasa Papua atau bukan Austrone (Nan) mempunyai substratum-substratum yang agak kurang jelas dan
sulit dikelompokkan dengan pasti. Namun yang penting dari gelombang migrasi
bahasa NAn adalah tersebar kelompok bahasa yang kini dominan di Pulau Papua dan beberpulau kecil di
luarnya (seperti Timor, Pantar, dan di Kepulauan Bismarck), yaitu Trans New Guinea Phylum (TNGP).
Genetika
Pada kesempatan ini hanya akan dikemukakan beberapa gambaran umum
tentang sebaran ciri penanda genetika di Melanesia yang setidaknya dapat
memberikan petunjuk pola hubungan interaksi antara penutur Austronesia dan
masyarakat Melanesia.
Pada awalnya, penelitian genetika
di Melanesia menunjukkan adanya indikasi yang cukup jelas perbedaan antara
masyarakat Papua di daratan tinggi wilayah pedalaman dengan mereka yang tinggal
di kepulauan atau datarañ rendah di daerah pesisir. Ciri genetika masyarakat
Papua di dataran tinggi lebih dekat dengan ciri genetika Orang Aborijin
Australia, sedangkan mereka yang tinggal di kepulauan menunjukkan adanya
masukan ciri genetika dari Asia, antara lain ditunjukkan oleh Alpha Globin, Human Leukocyte
Antigen (HLA), dan Mt DNA Haplogroup B Asia yang bercirikan hilangnya
"pasangan basa 9" (9 base-pair deletion).
Proses dan implikasi migrasi Austronesia
Masuk ke pedalaman Uraian tentang bukti-bukti yang sejauh ini tersedia
tentang interaksi antara
penutur Austronesia dengan masyarakat melanesia, baik itu berupa artefak atau budaya
bendawi, bahasa dan penanda genetika sebagaimana dipaparkan di atas setidaknya dapat
memberikan gambaran yang kurang lebih seragam. Parapendatang atau migran dari
Asia Tenggara kepulauan ternyata lebih banyak menghuni dan menanamkan pengaruhnya secara kuat di
pulau-pulau Melanesia dan pesisir utara daratan Papua.Sejauh ini, ada beberapa tafsiran yang dicoba dipakai
untuk memberi penjelasan pada fenomena ini.
JEJAK BUDAYAAUSTRONESIA,
MELANESIA,
DAN TRADISI PRASEJARAH BERLANJUT DI PAPUA
M. Irfan Mahmud
Jejak budaya Austronesia, Melanesia, dan tradisi prasejarahberlanjut
sangat luas persebarannya di Papua. Hampir semua wilayah menyimpan potensi sumber daya arkeologi
yang sangat baik dieksplorasi jika kita ingin mengetahui asal-usul manusia
beserta aspek-aspek kebudayaan Papua yang sangat beragam. Sayang sekali,
dibandingkan 1luas wilayah dan rentang waktu hunian dari zaman prasejarah, data
arkeologi Papua berkenaan dengan persebaran dan interaksi budaya masih sangat sedikit yang
terungkap. Padahal, dengan posisinya yang strategis, tidak dapat diragukan lagi, Papua memiliki sebaran situs dalam
jumlah besar.
Budaya Lapita dan Kapak Lonjong dalam Konteks
Melanesia
Secara geografis, kebudayaan Lapita terbentang dari Kepulauan Bismarck
di barat, melalui pulau-pulau utama Melanesia (Solomon,
Vanuatu, New Caledonia) ke
Fiji, lalu mencapai Kepulauan Polinesia Tonga dan Samoa, menempuh jarak sekitar
4.000 dari penggalian arkeologis pada situs-situs kawasan Melanesia dapat
diperkirakan puncak pertumbuhan kebudayaan Lapi sekitar 1.500 sampai 500 tahun
sebelum masehi.
pengaruh Austronesia di Pesisir dan Pulau-Pulau
fenomena persebaran masyarakat penutur Austronesia yanggmenjangkau
Lautan Pasifik merupakan fenomena yang sangatBanyak paka menganggap, salah
satunya Hendrik Kern, bahwa diaspora Austronesia terjadi karena tekanan
penduduk dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu pantai daerah tropis
(Blust, 1984-1985: 47-49; Anceaux, 1991: 74-75).
Sisa Tradisi Prasejarah di Papua
Sisa-sisa tradisi prasejarah terutama ditemukan di kawasan Pegunungan
Tengah yang terus hidup ketika sebagian besar bagian dunia lain sudah memasuki peradaban modern. Sisa
tradisi prasejarah dipelihara oleh banyak kelompok suku pedalaman, seperti suku
Dani, Ngalum, Ekagi, Mee, Marind-Anim, Asmat, Muyu, Komoro, dan Hattam.
Silang Budaya dan Jati Diri
Tidak dapat disanksikan lagi bahwa Papua merupakan bagian kawasan
Melanesia yang dala dinamika pertumbuhannyaur budaya dengan karakternya
masing-menampung beragammasing, termasuk budaya Austronesia yang menjadi akar
pokok kebudayaan
bangsa lndonesia. Hubungan-hubungan yang terjadi telah menciptakan
multikulturalisme yang tetap mereka kenali secara baik. Terutama di pesisir utara dan Kepala
Burung, kita menemukan bukti arkeologi silang budaya Melanesia, Austronesia,
serta budaya lokal yang berkembang cukup harmoni.
BUDAYA PANTAI DAN PEDALAMAN
MASA
PRASEJARAH DI PAPUA
Bagyo Prasetyo
Tanah Papua merupakan pulau besar yang terletak di ujung timur dari
bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Plau dengan luas sekitar 420.000 kilometer persegi
ini secara administratif berbatas an dengan Papua Nugini di sebelah timur. Seperti halnya dengan pulau-pulau lain di wilayah
Indonesia, Tanah Papua sebagai pulau yang besar (selain Sumatra dan Kalimantan)
juga mempunyai kandungan data arkeologi yang Sangat beragam dari masa
prasejarah sampai pengaruh Islam dan Kolonial.
Perwajahan Situs Arkeologi Papua
Bukti-bukti arkeologi di
Tanah Papua telah diungkap oleh sejumlah peneliti mancanegara, seperti J.
Röder, Cator, Aufenanger, Riesenfeld, Wichman, W.G. Solheim II, Tichelman,dan
Gruyter. Disamping itu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (sekarang bernama
Pusat Penelitian dan Pengembangan ArkeologiNasional) juga telah merintis
kegiatan penelitian di wilayah tersebut,
yang diawali berupa kerjasama dengan Belanda (W.G Solheim II). Beberapa
peneliti dari jajaran instansi tersebut antaralain adalah R.P. Soejono, D.D.
Bintari, Hendari Sofion, Gunadi Nitihaminoto, Truman Simanjuntak, dan Bagyo
Prasetyo.
Hadirnya Balai
Arkeologi Jayapura sekitar 10 tahun yang lalu sebagai perpanjangan tangan dari
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional semakin menjadi tumpuan
bagi perkembangan arkeologi di Tanah Papua.
a. Wilayah Kepulauan, Pesisir dan Sekitarnya
Jejak-jejak komunitas prasejarah di Tanah Papua ditandai oleh adanya
seni lukis cadas yang ditemukan di sepanjang pesisir pantai. Tichelman dan Gruyter menginformasikan
bahwa di tebing-tebing Teluk Speelman yang terletak di sebelah selatan wilayah
Fak-Fak, ditemukan sejumlah lukisan dinding serta tengkorak manusia, patung
kayu, perisai dan sejumlah artefak lainnya (1944: 11).
b. Wilayah Pedalaman
Sama halnya dengan wilayah
pantai, wilayah pedalaman nampaknya juga sarat dengan tinggalan arkeologi yang
cukup menarik.
Sulitnya jarak tempuh dan jarak jangkau ke lokasi situs menjadi kendala yang
sangat besar dalam melakukan penelitian di wilayah ini. Namun demikian, sejumlah informasi dan
catatan dari peneliti asing memberikan gambaran tentang kearkeologian yang ada
di wilayah pedalaman, terutama dataran tinggi Pegunungan Tengah.
Konteks Prasejarah Papua di Nusantara
Berdasarkan sejumlah penelitian terhadap situs-situs gua yang diwakili
oleh wilayah Makbon (Gua Selesimlagi, Gua Masiolo, Gua Kalabus), wilayah Jayapura (Gua Skoumabo),
Ayamaru menunjukkan bahwa unsur neolitik yang lebih berperan dibandingkan dengan unsur pra-neolitik, seperti
yang banyak ditemukan di situs-situs gua di daerah Indonesia Timur.
BUDAYA
AUSTRONESIA DI PAPUA
Hari
Suroto
Banyak orang Papua saat ini menganggap dirinya sebagaiketurunan
Melanesia, karena merujuk pada arti kata "melanesia" yang bermakna penghuni pulau berkulit hitam. Kata "Melanesia"
secara harafiah berarti pulau hitam. Istilah ini pertama kali digunakan pada
1827 oleh nahkoda kapal Astrolabe asal Perancis bernama Dumont d'Urville.
Kata ini sebenarnya untuk menunjukkawasan geografis semata. Walaupun
begitu, para ahli yang telah menyelidiki bahasa dan prasejarah Papua serta
kawasan Melanesia lainnya
sepakat untuk membedakannya: bahasa-bahasa Papua sebagai Non-Austronesia dan
bahasa-bahasa Melanesia termasukdalam filum Austronesia.
Austronesia Papua dan Perdagangan Jarak Jauh
Perbedaan Orang Papua dan Melanesia secara genetis dan linguistik masih
bisa ditelusuri sampai hari ini. Di sebagian wilayahbarat New Guinea, turunan
Melanesia bisa dijumpai di pulau-pulau di wilayah Biak, Yapen, Raja Ampat,
serta di sepanjang pesisir utara.
Namun, mereka tak bisa ditemukan di wilayah Dataran Tinggi dan sepanjang
pesisir selatan (Muller, 2008:59). J. C. Anceaux (1953:293)berpendapat lain
bahwa di bagian baratlaut Papua,-yaitu Pulau Biak, sebagian dari Pulau Yapen,
Teluk Saireri, Teluk Berau hingga Teluk Etna-terdapat sejumlah bahasa yang tergolong
bahasa Melanesia.
Pengaruh Austronesia di Papua
Pengaruh budaya Austronesia di Papua hanya terdapat di pesisir utara,
Teluk Cenderawasih dan wilayah Kepala Burung Pengaruh ini berupa bahasa
Melanesia yang merupakan hasil perkembangan bahasa-bahasa Papua setelah
mendapat pengaruh dari Bahasa Austronesia. Ciri budaya Austronesia lainnya yang
terlihat berkaitan tradisi rajah (tato) dan sistem organisasi kemasyarakatannya
yang terstruktur dengan sistem hirarki dimanapara pemimpinnya dijabat secara
turun-temurun.
BUDAYA AUSTRONESIA DI KEPULAUAN MALUKU
Wuri Handoko
Penelitian Peter Bellwoodd (1993) di wilayah Maluku Utaracetidaknva
mempertanyakan empat isu utama arkeologi. Pertama, pertanggalan awal plestocen,
sebelum 10.000 tahun yang lalu.Kedua, peran wilayah Maluku Utara dalam
hubungannya dengan budaya akhir Austronesia-Pasifik. Ketiga, sifat alami
hubungan antara kedua populasi etnolingustik kelompok utama daerah Austronesia
dan Non-Austronesia (Papua) sejak 4000 tahun lalu.
Keempat, sejarah perdagangan rempah-rempah dengan wilayah China, India
dan Barat (Eropa) (Bellwood, 1993). Penelitian Bellwood tersebut sebagian besar
diarahkan pada tiga topik pertama yang telah disebutkan, meskipun beberapa
informasi Secara mengejutkan juga menjelaskan tentang topik perdagangan rempah-rempah (Spriggs, 1998).
Budaya Awal dan Perkembangan Masa Pra neolitik
Indikasi kebudayaan awal di wilayah Maluku dapat digambarkan beberapa
temuan arkeologi yang menunjukkan kronologi sangat tua. Di wilayah Sawai, Pulau
Seram bagian utara, ditemukaalat batu paleolitik yang kemudian dihubungkan
dengan migrasi manusia purba di Nusantara (Sapri Hadiwisastra,
1999/2000:85-90). Peninggalan masa paleolitik lainnya ditemukan di Situs Morella dan Wayputih. Kedua situs tersebut menandai
hadirnya budaya paleolitik di wilayah Seram. Penemuan budaya paleolitik di
Maluku memberi indikasi awal untuk dapat memperkirakan bahwa sejak zaman
prasejarah telah hidup manusia sebangsa Homo Erectus, meskipun bukti-bukti fosilnva belum
didapatkan hingga sekarang (Handoko, 2007). Pulau Seram kemungkinan merupakan
wilayah awal okupasi manusia purba. Meski demikian, mengingat masibh minimnya
temuan paleolitik, sehingga masinbelum bisa dijadikan bahan untuk kajian lebih
dalam lagi perihal perkembangan dan persebaran budaya paleolitik di Maluku.
Budaya Austronesia Kepulauan Maluku
Hasil penelitian arkeologi di wilayah Maluku sejauh ini telah
menyimpulkan bahwa budava neolitik Maluku merupakan hasilpersentuhan masyarakat
penutur bahasa Austronesia. Periode budaya neolitik di wilayah Maluku
berdasarkan artefak yang dihasilkan menmuat informasi pertanggalan 4500-3500
BP. Dalam kurun waktu ini, budaya dan teknologi baru berkembang yang mungkin
bersamaan dengan hadirnya Orang Austronesia di Maluku dari Taiwan yang terus
menyebar sampai ke wilayah Melanesia dan Polinesia. Kehadiran penutur
Austronesiamembawa tradisi gerabah (tembikar) serta domestikasi hewan, seperti
anjing, babi dan ayam serta menyebarkan rumpun bahasa Austronesia (Bellwood, 1997: 201-57; Bellwood,
et.al., 1995, dalam Spriggs 1998).
Austronesia di Maluku: Antara Budaya Melaut dan
Agrikultur
Jika budaya neolitik diasosiasikan dengan bercocok tanam dalam skema
pola hidup menetap, maka dapat dikategorikan sebagai budaya manusia saat mengokupasi wilayah
daratan atau dalam pengertian lain sebagai budaya agraris awal. Hasil riset
pada beberapa situs yang mengindikasikan peninggalan arkeologi masa neolitik
menunjukkan bahwa jati-diri masyarakat didominasi budaya agrikultur. Hasil
riset lainnya menggambarkan kesamaan sistem ekonomi penduduk awal dan perubahan
ekonomi antara Kepulauan
Maluku dengan Kepulauan Bismarck dan Salomon, yakni perkembangan ekonomi
agrikultur.
Penjelasan menyangkut pola ini dapat diperoleh berdasarkan penelitian
Bellwood (1993) dan Flanery dkk (1995) di Maluku Utara. Pada sebuah
penggalianarkeologi di Gua Siti Nafisah (Halmahera Selatan), ditemukan
bukti-bukti adanya budaya agrikultur dengan ditemukannya tulang binatang sejenis
hewan berkantung seperti kuskus yang berasosiasi dengan gerabah yang memiliki
pertanggalan 5210 dan 3410 BP (Spriggs, 1998). Demikian pula di Halmahera dan
Pulau Gebe, yang memiliki corak budaya mirip yang berkembangdi wilayah Solomon
dan Bismarck serta daerah timur PapuaNugini, terdapat jenis binatang yang
ditengarai hadir bersamaan atau dibawa oleh orang-orang pendukung budaya
gerabah awal (Spriggs,
1998).
Migrasi dan Home-Land
Teori-teori migrasi yang selama ini dianut menunjukkan bahwa nenek moyang
orang Indonesia berasal dari ras Austromelanosoid. Ras ini menyebar dari timur ke barat. Pendapat ini
salah satunya mengungkapkan bahwa budaya lukisan cadas berasal dari benua Australia yang merupakan cikal bakal ras
Austromelanosoid (Asikin, 2000: 102).
http://library.uny.ac.id
https://journal.uny.ac.id
Komentar
Posting Komentar